Selamat datang di Kawasan Penyair Sulawesi Selatan. Terima kasih atas kunjungan Anda.

Senin, 15 Oktober 2007

Saff Muhtamar


Saff Muhtamar
(Makassar)

Lahir di Riau 20 Februari 1976. Menyelesaikan S I di UMI Makasar Fakultas Hukum. Aktif di beberapa kelompok diskusi antara lain Kelompok Diskusi Cikal CSO, Komunitas Studi Budaya (KUBU), Sanggar Merah Putih Makasar (SMPM), Lembaga Intelektual Risalah dan Agama (LENTERA) Juga dibeberapa LSM seperti Lembaga Penerbitan dan Pengkajian Hukum (LPPH), sebagai Koordinator Divisi Riset, Perbantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI-Makasar) sebagai Koordinator Divisi Hak-Hak Sipil dan Politik, serta Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB-Sulawesi). Beberapa karya berupa buku dan artikel antara lain Pertikaian Yang Tak Kunjung Usai (Manusia, Undang-Undang Manusia dan Hukum Ilahi), Warisan Suci Kebudayaan, Nyanyian Lirih 1001 Malam, 99 Bunyi Sunyi, Nostalgia Sejarah (1998), Desah Rindu Seorang Biadap (2000), Sembilu Kekuasaan dan Ruang-Ruang Bisu (2002),Masa Depan Warisan Luhur Kebudayaan Sulawesi Selatan (2004), Buku Cerdas Sulawesi Selatan (2005), Tasauf Kajang (2005), Salah satu puisinya :


Merobohkan Rumah Tuhan


Manusia telah membangun rumahnya sendiri dengan dindin-
dinding teori ilmu, menopangnya dengan batu bata eksperimen
dan penelitian dan atapnya disanggah dengan balok-balok akal
yang merdeka dari selain dirinya sendiri.

Manusia telah membangun peradabannya dari keringat alam
yang telah diikat sebagai budak dalam istana pengetahuan
dan harus melayani seluruh hasrat mewah dari tubuh-tubuh
yang telah dimesinkan oleh teknologi secara total.

Manusia telah hidup mewah dalam istana akalnya yang berdiri
megah mengangkang di atas rintihan alam yang dipaksa menjadi
pelacur di ranjang-ranjang para raja yang selalu aman dalam
perlindungan para serdadu berseragam harimau liar padang tandus
dan deretan senjata yang bersiaga dengan otak elektronik.

Manusia dengan kekuasaan yang diramu biji-biji debu yang
berkeliaran telah merobohkan rumah tuhan karena suara-suara
mendendangkan keabadian dari menara dan lonceng-lonceng
suci hanya mengganggu tidurnya pada waktu pagi dan pada
waktu petang.

2003

Minggu, 14 Oktober 2007

Muhary Wahyu Nurba


Muhary Wahyu Nurba
(Makassar)

Lahir di Makassar, 5 Juni 1972. Aktif berkesenian sebagai anggota Masyarakat Sastra Tamalanrea. Selain menulis sajak, juga menulis cerpen, esei dan mengerjakan desain grafis.
Puisi-puisinya dimuat pada beberapa media antara lain: Fajar, Pedoman Rakyat (Makassar), Jurnal Puisi (jakarta) dan Plangi Magazine (Australia). Tahun 2004 diundang oleh Dewan Kesenian Jakarta untuk membacakan puisi-puisinya dalam Forum Cakarawala Sastra Indonesia. Bukunya yang telah terbit antara lain: Meditasi (1996), Jadilah Aku Angin Jadilah Kabut (1997), dan Sekuntum Cahaya (1999). Sehari-harinya bekerja sebagai editor dan terlibat dalam bidang penerbitan pada Gora Pustaka Indonesia. Selain itu aktif di LSM Tanda Baca Indonesiaku. Salah satu puisinya :


Sekarang Kuputuskan

sungguh menyedihkan
bila hanya duduk menunggu kematian

sekarang kuputuskan untuk berjalan sepanjang hidupku
seperti sebilah pedang yang sekian waktu tersimpan
kujenguk dan kuasah lagi jiwaku yang beku

kubaca dan kutandai perangai aneh cuaca
kuterjemahan isyarat sungai dan isyarat telaga
kuramu bahasa, menghembus makna
yang belum pernah kukenal sebelumnya

tentu sudah kuduga akan seperti ini muaranya
bahwa dunia akan tercipta berlapis-lapis penjara
dalam diriku. bahwa angan-angan tak pernah berhenti
membelai dan memperindah mimpi

sungguh menyedihkan
jika aku hanya duduk dan membiarkan
tubuhku habis diiris-iris waktu

aku berjalan ke negeri-negeri asing dan jauh
di sana kutemui berpasang-pasang kekasih
mereka saling berjanji, saling caci kemudian melupakan

berlembar-lembar risalah kubuka
menjadi petunjuk sekaligus membingungkan arah tujuanku
perempuan-perenpuan putih seputih mutiara
kadang merajuk demi seserpih keinginan yang fana

aku tersenyum sendirian, tersedu dan keheranan
melihat jiwaku edan tetapi tetap tenang
maka demi sehimpun kesedihan dan keriangan
merpati dalam genggaman kini kulepaskan

Makassar, 2005

Aslan Abidin


AslanAbidin
(Makasar)

Lahir di Soppeng Sulawesi Selatan, 31 Mei i972. Menyelesaikan kuliah Kesusastraan Indonesia di Universitas Hasanuddin Makassar tahun 1997. Menulis sajak antara lain di Horison, Basis, Jurnal Puisi, Kompas, Republika, Media Indonesia, Bernas, dan beberapa harian di Makassar Dibukukan antara lain dalam Mimbar Penyair Abad 21 (1996) Antolog Puisi Indonesia (1997), Sastrawan Angkatan 2000, Kitab Puisi Horison Sastra Indonesia (2002), Puisi Tak Pernah Pergi (2003), dan Tak Ada Yang Mencintaimu Setulus Kematian (2004). Membaca puisi di TIM Jakarta dalam Mimbar Penyair Abad 21 (1996), Pembacaan Sajak Penyair Delapan Kota (1998), dan Cakrawala Sastra Indonesia (2004). Mengikuti Program Penulisan Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) Puisi tahun 2002 di Cisarua, Jawa Barat. Mengikuti Ubud Writer and Readers Festival
tahun 2004 di Bali. Memenangkan beberapa lomba penulisan sajak, antara lain LCPI Tasikmalaya 1999, Art and Peace Bali 1999, dan LCPI Post 2003. Bekerja sebagai wartawan di Makassar. Mengetuai Masyarakat Sastra Tamalanrea (MST) Makassar. Salah satu puisinya :


Polispermigate


perempuan jalang bertubuh pualam pada
simpang jalan itu menyimpan bejana
di tubuhnya.

ia menjadi tempat minum para
lelaki pejabat yang datang menghabiskan
uang hasil rampokan
perempuan jalang di simpang jalan,
entah mengapa aku suka mengkhayalkan
diriku tersesat di kamarmu.
dan sebagai bentara para penjahat,
kau kisahkan padaku seluruh riwayat
dari negeri subur para perarmpok

“aku seperti nawang
wulan dan mereka adalah beruang yang
rakus mengisap madu tubuhku. mereka
takut aku menemukan baju dan segera
menguap ke udara.”

tapi nawang wulan, aku juga suka
membayangkan kau membuka celana
untukku. dan mungkin aku akan terkesiap
menatap kemaluanmu yang mangap :

seperti polisi yang siap menerima suap.

2003

-polispermigate : semacam skandal masuknya beberapa sperma ke dalam satu sel telur.